Dari langit yang merah dan kelam, terbang seekor Naga menyemburkan api dengan kobaran yang sangat tebal, menghitamkan pucuk bangunan istana Grandalas yang indah. Sebagian bangunan sudah terbakar dengan ganas. Bahkan Menara kembar Lundsdame yang dibanggakan telah hangus terbakar. Nampaknya para Naga buas itulah yang berbuat demikian.
Tembok-tembok kompleks Istana pecah, beberapa kubah yang menghiasi bangunan di taman dihancurkan dengan terjangan pedang batu tentara Diverdhame. Air mancur yang bening berubah menjadi merah, semerah mawar. Darah mengucur di mana-mana, membiarkan lantai terpoles pekatnya. Lontaran batu api merubuhkan beberapa Istana administrasi para menteri Grandalas yang di bangun mengelilingi Istana singgasana. Suara jeritan dari abdi Istana sangat menyanyat hati, bersaut-sautan meramaikan dentingan suara pedang. Centang cementang pedang terlalu bising dan membuat gaduh suasana. Formasi yang di bangun tentara Grandalas terus berhasil di lumpuhkan hingga kocar-kacir. Perburuan dari binatang buas Hyena merah atas pasukan tentara Grandalas membuat hiburan tersendiri bagi tentara barbar Diverdhame. Pasukan panah tak dapat menghentikan laju tentara barbar Diverdhame, di karenakan mereka terganggu oleh para Jin yang sengaja menakut-nakuti mereka. Beberapa gagak raksasa terlihat mencabik-cabik seorang prajurit Grandalas di udara, menyisakan potongan kaki untuk jatuh ke bumi. Pemandangan yang mengerikan, bahkan terlalu mengerikan untuk masuk ke dalam mimpi.
Sang Raja Grandalas melihat jelas pasukannya semakin terdesak dan terus tumbang. Air wajahnya memerah karena kemurkaannya. Dari atas balkon ia menebas tentara Barbar yang muncul dan berusaha memasuki Istana utama Grandalas yang biasa di sebut dengan Singgasana Grandalas. Sebuah tangga kayu raksasa, telah terpasang di tepiannya. Melalui jalur itulah tentara musuh merangsak naik dan masuk ke dalam Balkon.
Dari kejauhan Pangeran Armith berseru “Itu dia..! Tua bangka dari Grandalas! Akhirnya kau keluar juga. Dengarkanlah pasukanku, aku menginginkan kepalanya!“
Kemudian seekor gagak raksasa menerjang ke arah Raja Grandalas XII. Namun kali ini Pangeran Sivmith menjadikan dadanya sebagai martir. Kuku tajam beracun dari Gagak hitam terkutuk tersebut mengkoyak dengan ganas dada Pangeran Sivmith; sang pemberani. Dadanya robek dengan luka menganga, baju jirahnya bersimbah darah, terus mengucur di antara lempengan besi pelindungnya. Dengan sisa kekuatan yang dimilikinya ia sempat mengayunkan pedang dan menebas cakar dari sang Gagak raksasa itu. Gagak itu jatuh terjerembab di depannya dan memuncratkan darah dengan deras. Tubuh gagak tersebut terlihat kejang-kejang kesakitan, suaranya melengking tajam hingga menembus cakrawala. Sang Pangeran kemudian menusukkan dan memaku pedangnya ke jantung Gagak terkutuk itu. Sementara di tempat yang sama Jendral Vaxes telah tewas dengan gagah berani. Ratusan anak panah bersarang di sekujur tubuhnya.
“Vaxes O saudaraku…,” Lirih sang Raja saat pandangan matanya menyapa Jendral Vaxes.
“Lindungi sang Raja!“ Teriak Pangeran Sivmith kepada para bala tentaranya yang berada di balkon dengan suara yang parau. Ia berteriak sampai darah segar keluar dari kerongkongannya. Jendral Rakop salah satu Jenderal besar kerajaan Grandalas melompat dengan lincahnya ke arah Raja Grandalas untuk melindunginya. Matanya melirik Pangeran Sivmith yang dadanya berlumuran darah segar. Lirikan itu berubah menjadi pandangan mata yang terbelalak.
“Pangeran! Oh tidak..,“ Jenderal keturunan setengah Elf itu berucap gemetar melihat sang Pangeran terkapar bersimbah darah. Raja Grandalas tersentak akan kesedihannya yang mendalam. Ia kemudian memangku tubuh Pangeran Sivmith yang terluka sangat parah. Gelembung air mata telah penuh dan akhirnya pecah, merembes ke pipinya.
“Sivmith, puteraku yang tercinta, bertahanlah..,“ Tangisannya membasahi janggutnya yang putih. Tiba-tiba seorang Barbar sudah berhasil menaikki balkon. Berniat menusuk punggung sang Raja, namun Sivmith dengan sigap membanting sang ayah ke lantai dan kembali menjadi martir bagi ayahnya. Paru-parunya kali ini dengan cepat telah tertembus oleh hunusan pedang batu dari seorang Barbar jangkung. Namun Jenderal Rakop dengan cepat berhasil memancung kepala Barbar bertubuh jangkung itu dengan sangat cepat sebelum ia kembali beraksi.
“Anakku, bertahanlah..,“ Sang Ayah memeluk puteranya yang kini sudah terlihat sekarat.
Pangeran Sivmith tersenyum “A.. Ayah lin.. Lindungilah Grandalas..,” Ia terbatuk; dari kerongkongannya keluar darah kental berwarna sangat pekat memuncrat ke dada sang Raja. Ia memanggilnya ayah, nampaknya pada saat terakhir ia begitu bahagia dapat memanggil sang Raja dengan sebutan Ayah. Ia melanjutkan kata-katanya, kali ini wajahnya berubah menjadi geram “Bu.. Bunuh Armith sang pengkhianat..,“ Ia kemudian memejamkan matanya dengan berat. Mata berwarna kelabu itu, mata khas keturunan klan Zirah Putih telah kehilangan cahayanya dan pudar bersama dengan kematian.
“Pangeran?“ Jenderal Rakop terpaku kepada kematian sang pangeran ke enam.
“Armith aku akan membunuhmuu..!!“ Meledak amarah sang Raja Grandalas.
Hari hampir subuh, namun hujan berwarna merah marun itu belum berhenti. Begitu pula pertempuran sengit tersebut. Pasukan Grandalas benar-benar sudah terdesak. Kini pasukan Pangeran Armith dan sekutunya sebagian besar sudah berhasil merangsak bebas masuk sampai ke halaman istana utama: Istana Singgasana. Para Jin dan para Satan tua terlihat bersenang-senang. Mereka mengoyak leher para prajurit Grandalas sambil meminum darahnya dengan rakus. Ular-ular raksasa muncul dari dalam tanah meluluhlantahkan pasukan berkuda Grandalas, anjing-anjing hitam berkepala dua yang dimunculkan lewat rapalan mantra, juga Hyena merah peliharaan Raja Diverdhame mencabik tubuh-tubuh para tentara Grandalas, tanpa rasa sungkan untuk memakannya. Diikuti pembantaian oleh tentara Barbar dari Diverdhame yang tak mengenal ampun dan belas kasihan. Sepertinya nasib kerajaan Grandalas sudah di ujung tanduk, kerajaan agung itu hampir hancur. Dihancurkan oleh sang anak dari Raja Grandalas XII sendiri. Pangeran sekaligus Penyihir kejam bernama Armith!
Saat subuh menjelang, cahaya berwarna hijau keperakkan membelah langit merah dan membentuk satu gelombang terang yang menyilaukan diantara derasnya hujan. Kemunculannya diikuti suara mengglegar yang teramat memekakkan telinga. Dari gelombang itu muncullah seorang penunggang Pegasus bermata Tiga. Ia muncul dari langit, menukik menuju ke Atsmosphere Grandalas. Garis wajah penunggang Pegasus bermata Tiga itu beralur tegas dan terlihat sangat berwibawa. Tubuhnya terlihat kekar dan gagah dalam balutan jubah hijau tua yang indah. Janggutnya panjang berwarna putih keperakkan. Ia menggenggam tongkat jati berwarna coklat tua. Di belakangnya tiba-tiba muncul ratusan pasukan yang sangat perkasa dan membuat merinding bagi siapapun yang melihatnya. Kemunculan pertama adalah sekelompok Singa bermata dan berambut Api yang sangat gagah dan perkasa, diikuti sekelompok Naga berwarna biru muda yang menyemburkan hawa dingin. Ukuran Naga itu setengah lebih besar daripada Naga api. Rupanya itu adalah Naga Es yang melegenda. Naga yang konon muncul dari sebuah bongkahan permata es berwarna biru yang terdapat di kutub para dewa.
“A.. Apa itu?“ Gumam Pangeran Armith yang sangat terkejut dengan kemunculan para pasukan tersebut. Belum lagi selesai keterkejutannya, tiba-tiba menyusul kaum Jupiter sang pembawa panah Api kilat Phoenix dan puluhan mahkluk dari kaum Raksasa yang bersenjatakan Gada baja dan Petir, ditambah kemunculan terakhir dari pasukan Peri yang bersenjatakan Sutera beracun. Mereka dengan secepat kilat turun ke tanah Grandalas atas perintah tegas penunggang Pegasus bermata Tiga itu. Secara tiba-tiba menyerang pasukan Pangeran Armith dan sekutunya.
“Yang mulia Armith kita harus mundur!” Ratu Ibblis Nukkra begitu ketakutan melihat kemunculan itu. Ia meminta kepada Pangeran Armith untuk mundur, tetapi Pangeran Armith terlihat terpaku dengan dingin. Ia sama sekali tidak tahu apa yang dilihatnya.
Para Pasukan langit itu segera memenuhi ruang pertempuran. Memburu dengan ganas dan segera memilih korban faforitnya.
Terlihat para Raksasa memukulkan Gada dari tangan kanannya ke tanah hingga terjadi gempa, diikuti petir yang muncul dari tangan kirinya. Dalam satu kali hentakan puluhan pasukan Barbar yang di lumatnya. Pasukan Peri tak mau kalah, dengan racun dari kain suteranya, mereka menciptakan udara yang dapat membuat tentara Barbar keracunan dengan singkat. Kulit mereka terkelupas dan daging mereka meleleh bagai lilin. Pasukan langit itu membalas kengerian yang di alami Grandalas dengan setimpal.
Sementara itu sekawanan Singa berambut api mengoyak pasukan sihir Armith yang terdiri dari Anjing-Anjing hitam berkepala dua, juga Ular-Ular raksasa yang muncul dari dalam tanah. Hyena merah peliharaan Raja Diverdhame juga tak bisa lolos dari terkaman para Singa berambut api.
Naga es tak kalah hebatnya. Mereka mengalahkan para Gagak raksasa dan Naga api dengan semburan esnya yang membekukan. Seekor Naga es yang lain turun di antara pertempuran darat dan menghembuskan semburan hawa dingin ke arah tentara Barbar sehingga mereka menjadi bongkahan-bongkahan patung es. Akhirnya ratusan pasukan Jupiter pembawa panah Api Phoenix meluluhlantakan pasukan Jin dan para Satan tua bawahan Ratu Iblis Nukkra dengan panah Api Phoenix yang membakar! Beberapa Jin melarikan diri, para Satan tua pun ketakutan.
“Pangeran Crhonos: Pamanku yang telah menjadi Dewa pelintas langit pertama telah datang!“ Seru Raja Grandalas XII.
“I..Itukah yang mulia Crhonos?“ Gumam Jendral Rakop yang kini berdiri di sebelah Raja Grandalas XII.
“Anakku aku telah datang untuk menolongmu, kerajaanmu dan orang-orang teraniaya. Mana para Pangeran yang gagah berani, kemana cucu-cucukku yang kusayangi itu?“ Tanya penunggang Pegasus bermata Tiga yang ternyata adalah paman dari Raja Grandalas XII.
“Hormat kepada Yang mulia: Dewa pelintas langit pertama, Bouraqs yang bijaksana. Armith! Ia membunuh semua saudaranya sendiri!“
Mendengar pernyataan Raja Grandalas mata penunggang Pegasus bermata Tiga itu memandang Armith dari kejauhan dengan sorot yang terbakar serta penuh murka. Ia kemudian merapalkan mantra, tepat di bawah balkon muncul Mamouth perkasa.
“Anakku, gunakan Mamouth itu untuk menghabisi Raja Barbar, Armith bagianku.” Perintah Bouraqs.
“Baik yang mulia.” Raja Grandalas XII segera turun menunggangi Mamouth, dengan geram ia menuju ke arah Raja Diverdhame untuk menghabisinya.
“Armiiith..!!“ Teriak penunggang Pegasus bermata Tiga itu dengan suara yang menggetarkan langit dan bumi. Ia mengejar Armith dengan secepat kilat. Armith begitu ketakutan ia kemudian merapalkan sebuah mantra sihir dan memanggil Chebuah: Hewan perangnya yang berupa Burung berbulu ungu, dan berwajah Reptil dengan paruh tajam yang mengerikan. Mahkluk itu muncul dari dalam tanah nampaknya ia datang dari neraka. Dengan raut wajah yang panik dan ketakutan, ia melesat ke atas langit dan bermaksud melarikan diri, namun penunggang Pegasus bermata Tiga itu terus mengejarnya. Pangeran Armith betul-betul sangat ketakutan terhadap penunggang Pegasus bermata Tiga itu. Ia terus melesat dengan cepat bersama Chebuah. Sesekali Pangeran Armith mengeluarkan mantranya untuk memunculkan monster-monster ganas agar bisa menghentikan laju sang penunggang Pegasus bermata Tiga yang terus mengejarnya itu. Semuanya namun percuma, penunggang Pegasus bermata Tiga itu dengan mudah dapat menghancurkan monster-monster Pangeran Armith dengan tongkat Jatinya hanya dengan sekali tebas.
Kembali melancarkan serangan, kali ini Pangeran Armith melontarkan api sihirnya ke arah Penunggang Pegasus tersebut, namun Api itu hilang memudar saat mendekati Penunggang Pegasus bermata tiga itu karena kesaktiannya.
Pangeran Armith sang pengkhianat melesat ke atas langit yang lebih tinggi untuk menghindari kejaran penunggang Pegasus bermata Tiga. Dengan marah penunggang Pegasus bermata Tiga itu berseru “Kau menghinaku dengan naik ke atas langit! Akulah sang Dewa pelintas langit pertama: Bouraqs...!“ Penunggang Pegasus bermata Tiga itu kemudian mengubah dirinya menjadi raksasa yang memenuhi ruang langit! Armith tak dapat bertahan lagi, ketakutannya menyaksikan hal tersebut membuatnya gugup. Dari tongkat Jati sang penunggang Pegasus bermata Tiga itu keluar halilintar yang menghancurkan perisai gaib Pangeran Armith. Akibatnya Pangeran Armith tak kuasa bertahan atas serangan tersebut. Ia dan Chebuah jatuh terhempas ke pelataran istana Grandalas dengan telak.
Terlihat Singa berambut Api yang sangat perkasa telah menunggu kesempatan untuk mengoyak Chebuah dengan ganas. Singa Api itu dengan kejinya menghabisi Chebuah dengan terkamannya yang tak kenal ampun. Perlawanan Chebuah tidak menjadi ancaman bagi Singa berambut api itu. Cakar-cakarnya merobek jantung Chebuah yang sudah tak mampu lagi melawan. Pangeran Armith merinding ketakutan melihatnya.
Ia lebih ketakutan kemudian, karena kini sang penunggang Pegasus bermata Tiga telah berdiri di depannya dengan raut wajah yang sangat murka....
To Be Continued to Chapter 1
Tembok-tembok kompleks Istana pecah, beberapa kubah yang menghiasi bangunan di taman dihancurkan dengan terjangan pedang batu tentara Diverdhame. Air mancur yang bening berubah menjadi merah, semerah mawar. Darah mengucur di mana-mana, membiarkan lantai terpoles pekatnya. Lontaran batu api merubuhkan beberapa Istana administrasi para menteri Grandalas yang di bangun mengelilingi Istana singgasana. Suara jeritan dari abdi Istana sangat menyanyat hati, bersaut-sautan meramaikan dentingan suara pedang. Centang cementang pedang terlalu bising dan membuat gaduh suasana. Formasi yang di bangun tentara Grandalas terus berhasil di lumpuhkan hingga kocar-kacir. Perburuan dari binatang buas Hyena merah atas pasukan tentara Grandalas membuat hiburan tersendiri bagi tentara barbar Diverdhame. Pasukan panah tak dapat menghentikan laju tentara barbar Diverdhame, di karenakan mereka terganggu oleh para Jin yang sengaja menakut-nakuti mereka. Beberapa gagak raksasa terlihat mencabik-cabik seorang prajurit Grandalas di udara, menyisakan potongan kaki untuk jatuh ke bumi. Pemandangan yang mengerikan, bahkan terlalu mengerikan untuk masuk ke dalam mimpi.
Sang Raja Grandalas melihat jelas pasukannya semakin terdesak dan terus tumbang. Air wajahnya memerah karena kemurkaannya. Dari atas balkon ia menebas tentara Barbar yang muncul dan berusaha memasuki Istana utama Grandalas yang biasa di sebut dengan Singgasana Grandalas. Sebuah tangga kayu raksasa, telah terpasang di tepiannya. Melalui jalur itulah tentara musuh merangsak naik dan masuk ke dalam Balkon.
Dari kejauhan Pangeran Armith berseru “Itu dia..! Tua bangka dari Grandalas! Akhirnya kau keluar juga. Dengarkanlah pasukanku, aku menginginkan kepalanya!“
Kemudian seekor gagak raksasa menerjang ke arah Raja Grandalas XII. Namun kali ini Pangeran Sivmith menjadikan dadanya sebagai martir. Kuku tajam beracun dari Gagak hitam terkutuk tersebut mengkoyak dengan ganas dada Pangeran Sivmith; sang pemberani. Dadanya robek dengan luka menganga, baju jirahnya bersimbah darah, terus mengucur di antara lempengan besi pelindungnya. Dengan sisa kekuatan yang dimilikinya ia sempat mengayunkan pedang dan menebas cakar dari sang Gagak raksasa itu. Gagak itu jatuh terjerembab di depannya dan memuncratkan darah dengan deras. Tubuh gagak tersebut terlihat kejang-kejang kesakitan, suaranya melengking tajam hingga menembus cakrawala. Sang Pangeran kemudian menusukkan dan memaku pedangnya ke jantung Gagak terkutuk itu. Sementara di tempat yang sama Jendral Vaxes telah tewas dengan gagah berani. Ratusan anak panah bersarang di sekujur tubuhnya.
“Vaxes O saudaraku…,” Lirih sang Raja saat pandangan matanya menyapa Jendral Vaxes.
“Lindungi sang Raja!“ Teriak Pangeran Sivmith kepada para bala tentaranya yang berada di balkon dengan suara yang parau. Ia berteriak sampai darah segar keluar dari kerongkongannya. Jendral Rakop salah satu Jenderal besar kerajaan Grandalas melompat dengan lincahnya ke arah Raja Grandalas untuk melindunginya. Matanya melirik Pangeran Sivmith yang dadanya berlumuran darah segar. Lirikan itu berubah menjadi pandangan mata yang terbelalak.
“Pangeran! Oh tidak..,“ Jenderal keturunan setengah Elf itu berucap gemetar melihat sang Pangeran terkapar bersimbah darah. Raja Grandalas tersentak akan kesedihannya yang mendalam. Ia kemudian memangku tubuh Pangeran Sivmith yang terluka sangat parah. Gelembung air mata telah penuh dan akhirnya pecah, merembes ke pipinya.
“Sivmith, puteraku yang tercinta, bertahanlah..,“ Tangisannya membasahi janggutnya yang putih. Tiba-tiba seorang Barbar sudah berhasil menaikki balkon. Berniat menusuk punggung sang Raja, namun Sivmith dengan sigap membanting sang ayah ke lantai dan kembali menjadi martir bagi ayahnya. Paru-parunya kali ini dengan cepat telah tertembus oleh hunusan pedang batu dari seorang Barbar jangkung. Namun Jenderal Rakop dengan cepat berhasil memancung kepala Barbar bertubuh jangkung itu dengan sangat cepat sebelum ia kembali beraksi.
“Anakku, bertahanlah..,“ Sang Ayah memeluk puteranya yang kini sudah terlihat sekarat.
Pangeran Sivmith tersenyum “A.. Ayah lin.. Lindungilah Grandalas..,” Ia terbatuk; dari kerongkongannya keluar darah kental berwarna sangat pekat memuncrat ke dada sang Raja. Ia memanggilnya ayah, nampaknya pada saat terakhir ia begitu bahagia dapat memanggil sang Raja dengan sebutan Ayah. Ia melanjutkan kata-katanya, kali ini wajahnya berubah menjadi geram “Bu.. Bunuh Armith sang pengkhianat..,“ Ia kemudian memejamkan matanya dengan berat. Mata berwarna kelabu itu, mata khas keturunan klan Zirah Putih telah kehilangan cahayanya dan pudar bersama dengan kematian.
“Pangeran?“ Jenderal Rakop terpaku kepada kematian sang pangeran ke enam.
“Armith aku akan membunuhmuu..!!“ Meledak amarah sang Raja Grandalas.
Hari hampir subuh, namun hujan berwarna merah marun itu belum berhenti. Begitu pula pertempuran sengit tersebut. Pasukan Grandalas benar-benar sudah terdesak. Kini pasukan Pangeran Armith dan sekutunya sebagian besar sudah berhasil merangsak bebas masuk sampai ke halaman istana utama: Istana Singgasana. Para Jin dan para Satan tua terlihat bersenang-senang. Mereka mengoyak leher para prajurit Grandalas sambil meminum darahnya dengan rakus. Ular-ular raksasa muncul dari dalam tanah meluluhlantahkan pasukan berkuda Grandalas, anjing-anjing hitam berkepala dua yang dimunculkan lewat rapalan mantra, juga Hyena merah peliharaan Raja Diverdhame mencabik tubuh-tubuh para tentara Grandalas, tanpa rasa sungkan untuk memakannya. Diikuti pembantaian oleh tentara Barbar dari Diverdhame yang tak mengenal ampun dan belas kasihan. Sepertinya nasib kerajaan Grandalas sudah di ujung tanduk, kerajaan agung itu hampir hancur. Dihancurkan oleh sang anak dari Raja Grandalas XII sendiri. Pangeran sekaligus Penyihir kejam bernama Armith!
Saat subuh menjelang, cahaya berwarna hijau keperakkan membelah langit merah dan membentuk satu gelombang terang yang menyilaukan diantara derasnya hujan. Kemunculannya diikuti suara mengglegar yang teramat memekakkan telinga. Dari gelombang itu muncullah seorang penunggang Pegasus bermata Tiga. Ia muncul dari langit, menukik menuju ke Atsmosphere Grandalas. Garis wajah penunggang Pegasus bermata Tiga itu beralur tegas dan terlihat sangat berwibawa. Tubuhnya terlihat kekar dan gagah dalam balutan jubah hijau tua yang indah. Janggutnya panjang berwarna putih keperakkan. Ia menggenggam tongkat jati berwarna coklat tua. Di belakangnya tiba-tiba muncul ratusan pasukan yang sangat perkasa dan membuat merinding bagi siapapun yang melihatnya. Kemunculan pertama adalah sekelompok Singa bermata dan berambut Api yang sangat gagah dan perkasa, diikuti sekelompok Naga berwarna biru muda yang menyemburkan hawa dingin. Ukuran Naga itu setengah lebih besar daripada Naga api. Rupanya itu adalah Naga Es yang melegenda. Naga yang konon muncul dari sebuah bongkahan permata es berwarna biru yang terdapat di kutub para dewa.
“A.. Apa itu?“ Gumam Pangeran Armith yang sangat terkejut dengan kemunculan para pasukan tersebut. Belum lagi selesai keterkejutannya, tiba-tiba menyusul kaum Jupiter sang pembawa panah Api kilat Phoenix dan puluhan mahkluk dari kaum Raksasa yang bersenjatakan Gada baja dan Petir, ditambah kemunculan terakhir dari pasukan Peri yang bersenjatakan Sutera beracun. Mereka dengan secepat kilat turun ke tanah Grandalas atas perintah tegas penunggang Pegasus bermata Tiga itu. Secara tiba-tiba menyerang pasukan Pangeran Armith dan sekutunya.
“Yang mulia Armith kita harus mundur!” Ratu Ibblis Nukkra begitu ketakutan melihat kemunculan itu. Ia meminta kepada Pangeran Armith untuk mundur, tetapi Pangeran Armith terlihat terpaku dengan dingin. Ia sama sekali tidak tahu apa yang dilihatnya.
Para Pasukan langit itu segera memenuhi ruang pertempuran. Memburu dengan ganas dan segera memilih korban faforitnya.
Terlihat para Raksasa memukulkan Gada dari tangan kanannya ke tanah hingga terjadi gempa, diikuti petir yang muncul dari tangan kirinya. Dalam satu kali hentakan puluhan pasukan Barbar yang di lumatnya. Pasukan Peri tak mau kalah, dengan racun dari kain suteranya, mereka menciptakan udara yang dapat membuat tentara Barbar keracunan dengan singkat. Kulit mereka terkelupas dan daging mereka meleleh bagai lilin. Pasukan langit itu membalas kengerian yang di alami Grandalas dengan setimpal.
Sementara itu sekawanan Singa berambut api mengoyak pasukan sihir Armith yang terdiri dari Anjing-Anjing hitam berkepala dua, juga Ular-Ular raksasa yang muncul dari dalam tanah. Hyena merah peliharaan Raja Diverdhame juga tak bisa lolos dari terkaman para Singa berambut api.
Naga es tak kalah hebatnya. Mereka mengalahkan para Gagak raksasa dan Naga api dengan semburan esnya yang membekukan. Seekor Naga es yang lain turun di antara pertempuran darat dan menghembuskan semburan hawa dingin ke arah tentara Barbar sehingga mereka menjadi bongkahan-bongkahan patung es. Akhirnya ratusan pasukan Jupiter pembawa panah Api Phoenix meluluhlantakan pasukan Jin dan para Satan tua bawahan Ratu Iblis Nukkra dengan panah Api Phoenix yang membakar! Beberapa Jin melarikan diri, para Satan tua pun ketakutan.
“Pangeran Crhonos: Pamanku yang telah menjadi Dewa pelintas langit pertama telah datang!“ Seru Raja Grandalas XII.
“I..Itukah yang mulia Crhonos?“ Gumam Jendral Rakop yang kini berdiri di sebelah Raja Grandalas XII.
“Anakku aku telah datang untuk menolongmu, kerajaanmu dan orang-orang teraniaya. Mana para Pangeran yang gagah berani, kemana cucu-cucukku yang kusayangi itu?“ Tanya penunggang Pegasus bermata Tiga yang ternyata adalah paman dari Raja Grandalas XII.
“Hormat kepada Yang mulia: Dewa pelintas langit pertama, Bouraqs yang bijaksana. Armith! Ia membunuh semua saudaranya sendiri!“
Mendengar pernyataan Raja Grandalas mata penunggang Pegasus bermata Tiga itu memandang Armith dari kejauhan dengan sorot yang terbakar serta penuh murka. Ia kemudian merapalkan mantra, tepat di bawah balkon muncul Mamouth perkasa.
“Anakku, gunakan Mamouth itu untuk menghabisi Raja Barbar, Armith bagianku.” Perintah Bouraqs.
“Baik yang mulia.” Raja Grandalas XII segera turun menunggangi Mamouth, dengan geram ia menuju ke arah Raja Diverdhame untuk menghabisinya.
“Armiiith..!!“ Teriak penunggang Pegasus bermata Tiga itu dengan suara yang menggetarkan langit dan bumi. Ia mengejar Armith dengan secepat kilat. Armith begitu ketakutan ia kemudian merapalkan sebuah mantra sihir dan memanggil Chebuah: Hewan perangnya yang berupa Burung berbulu ungu, dan berwajah Reptil dengan paruh tajam yang mengerikan. Mahkluk itu muncul dari dalam tanah nampaknya ia datang dari neraka. Dengan raut wajah yang panik dan ketakutan, ia melesat ke atas langit dan bermaksud melarikan diri, namun penunggang Pegasus bermata Tiga itu terus mengejarnya. Pangeran Armith betul-betul sangat ketakutan terhadap penunggang Pegasus bermata Tiga itu. Ia terus melesat dengan cepat bersama Chebuah. Sesekali Pangeran Armith mengeluarkan mantranya untuk memunculkan monster-monster ganas agar bisa menghentikan laju sang penunggang Pegasus bermata Tiga yang terus mengejarnya itu. Semuanya namun percuma, penunggang Pegasus bermata Tiga itu dengan mudah dapat menghancurkan monster-monster Pangeran Armith dengan tongkat Jatinya hanya dengan sekali tebas.
Kembali melancarkan serangan, kali ini Pangeran Armith melontarkan api sihirnya ke arah Penunggang Pegasus tersebut, namun Api itu hilang memudar saat mendekati Penunggang Pegasus bermata tiga itu karena kesaktiannya.
Pangeran Armith sang pengkhianat melesat ke atas langit yang lebih tinggi untuk menghindari kejaran penunggang Pegasus bermata Tiga. Dengan marah penunggang Pegasus bermata Tiga itu berseru “Kau menghinaku dengan naik ke atas langit! Akulah sang Dewa pelintas langit pertama: Bouraqs...!“ Penunggang Pegasus bermata Tiga itu kemudian mengubah dirinya menjadi raksasa yang memenuhi ruang langit! Armith tak dapat bertahan lagi, ketakutannya menyaksikan hal tersebut membuatnya gugup. Dari tongkat Jati sang penunggang Pegasus bermata Tiga itu keluar halilintar yang menghancurkan perisai gaib Pangeran Armith. Akibatnya Pangeran Armith tak kuasa bertahan atas serangan tersebut. Ia dan Chebuah jatuh terhempas ke pelataran istana Grandalas dengan telak.
Terlihat Singa berambut Api yang sangat perkasa telah menunggu kesempatan untuk mengoyak Chebuah dengan ganas. Singa Api itu dengan kejinya menghabisi Chebuah dengan terkamannya yang tak kenal ampun. Perlawanan Chebuah tidak menjadi ancaman bagi Singa berambut api itu. Cakar-cakarnya merobek jantung Chebuah yang sudah tak mampu lagi melawan. Pangeran Armith merinding ketakutan melihatnya.
Ia lebih ketakutan kemudian, karena kini sang penunggang Pegasus bermata Tiga telah berdiri di depannya dengan raut wajah yang sangat murka....
To Be Continued to Chapter 1